FREEPORT DI INDONESIA BUKTI HILANGNYA NURANI PEMERINTAH INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Politik
Oleh:
1.
Erna Ristiani (7101412228)
2.
Ragil Sudjarwo (7201412231)
3.
Nur Azizah (7101412232)
4.
Widiyaningrum (7101412235)
5.
Muhammad Faris Priyoga (7101412238)
JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Di Indonesia Freeport sudah ada mulai sekitar 47 tahun yang lalu. Saat
ini keberadaan freeport sudah menimbulkan masalah bagi masyarakat maupun
negara. Bahkan kerugian-kerugian yang diakibakan freeport untuk Indonesia sudah sangat terlihat. Pemerintah
belum melakukan tindakan tegas untuk menangani kasus freeport. Masyarakat
berharap tinakan pemerintah dalam menghadapi freeport dan memperhatikan
kesejahteraan pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya freeport. Masalah
freeport merupakan masalah yang besar bagi negara karena berhubungan dengan
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dan keberlanjutan kekayaan alam
Indonesia.
Pemerintah dalam menentukan kebijakan akan mempertimbangkan teori apa
yang menguntungkan dan sesuai dengan keadaan dan harapan yang diinginkan, dan
apakah dengan menerapkan teori ekonomi politik sebagai acuan dalam menentukan
kebijakan dan tindakan pemerintah. Maka penulis membuat analisis berdasarkan
teori-teori dan kasus-kasus ekonomi politik dengan judul “FREEPORT DI INDONESIA
BUKTI HILANGNYA NURANI PEMERINTAH INDONESIA”
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang melatar belakangi masalah Freeport di Indonesia?
2.
Apakah Freeport sebagai bukti hilangnya nurani
pemerintah?
3.
Teori apa yang melandasi kasus Freeport di Indonesia?
1.3
Tujuan
1.
Untuk menetahui latar belakang masalah freeport di
Indonesia.
2.
Untuk mengetahui bahwa freeport merupakan bukti
hilangnya nurani pemerintah di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui teori yang melandasi kasus Freeport di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Latar
Belakang Masalah Freport di Indonesia
Jika diperhatikan, masalah Freeport ini disebabkan oleh 3 hal yang saling
terkait yaitu kontrak karya (KK) yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan
ekonomi kapitalisme neoliberal.
Kontrak Karya I (KK I) maupun KK II isinya sangat merugikan Indonesia. KK
I ditandatangani oleh Soeharto sebagai Ketua Presidum Kabinet pada tanggal 7
April 1967 dan berlaku untuk Kuasa Pertambangan (KP) selama 30 tahun. Freeport
mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang beroperasi di
Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak tunduk dengan hukum Indonesia,
mendapatkan tax holiday setelah tiga tahun berproduksi dan tanpa royalti sampai
tahun 1984 serta keistimewaan lainnya. Belum lagi selesai masa kontraknya, pada
Desember 1991 dibuat KKI II yang memberi hak kepada PTFI selama 30 tahun sampai
tahun 2021 dan bisa diperpanjang 2 kali 10 tahun atau sampai tahun 2041.
Keistimewaan luar biasa yang diberikan kepada Freeport ini, tentu saja
tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tekanan asing dilakukan oleh
pemerintah AS ketika itu karena “berjasa besar” membantu pemerintah Soeharto
dalam penumpasan G30S/PKI. Utang budi inilah yang digunakan sebagai “senjata”
Freeport dan pemerintah AS untuk menekan Indonesia sehingga menerima begitu
saja permohonan KP yang sangat merugikan itu. Semua ini menjadi legal dengan
kebijakan ekonomi Negara yang neo liberal yang disahkan dengan undang-undang
neo liberal. Berdasarkan doktrin kapitalisme, pemerintah tidak boleh ikut
campur dalam kegiatan ekonomi dan harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya,
pengelolaan kekayaan alam termasuk barang tambang diserahkan kepada swasta
terutama asing melalui kontrak karya (seperti pengelolaan tambang tembaga, emas
dan perak di Papua Barat kepada PTFI) atau melalui Production Sharing Contact.
Akibat dari semua itu, sebagian besar kekayaan alam yang merupakan milik
rakyat dikuasai dan dinikmati swasta terutama asing. Lebih ironis lagi, rakyat
nyaris tidak mendapat apa-apa dari hasil kekayaan alam milik mereka itu. Rakyat
– khususnya yang ada disekitar tambang – justru menderita banyak kerugian
karena lingkungan alam yang rusak, pencemaran, limbah dan tailing, rusaknya
sumber penghasilan mereka dan penyakit social lainnya.
2.2
Freeport
Bukti Hilangnya Nurani Pemerintah
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua
tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang
Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Pada tanggal 5 April 1967, Kontrak Karya (KK) I antara pemerintah
Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT Freeport
Indonesia Incorporated (Freeport) ditandatangani. Peristiwa ini menjadi
penandatanganan KK Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi
dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang disahkan pada
bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Lahan ekplorasi yang diserahkan pemerintah kepada Freeport mencakup areal
seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun, terhitung sejak kegiatan
komersial pertama dilakukan. Pada bulan Desember 1972, pengapalan 10.000 ton
tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk kali pertamanya ke Jepang. Tambang
Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by
product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan
semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam
deposit yang ditemukan.
Adanya ketidakyakinan tentang klaim emas merupakan by product, karena
pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian
konsentrat. Apalagi, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat
dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Di samping itu,
Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip
good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya
Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak
dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya
I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara
optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan
keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial
yang dikenai kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar
karena telah ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg.
Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru
berakhir pada tahun 1997.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran
eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak
Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor
(gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih. Penjualan bersih
adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting),
biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport
dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase
penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5%
tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia
(emas dan perak).
Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam
kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa
seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan
di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Di dalam Kontrak
Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa
pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika
Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi
kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat
sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan
pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi
secara ekonomis.
Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah
seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Bandingkan
dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi
seluas 10.908 hektare.
Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang
dimiliki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi
ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan
rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu
mengambil manfaat optimal.
Rapuhnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah kembali
terlihat dalam KK V Freeport. Meskipun dalam KK V posisi tawar pemerintah
sedikit diuntungkan, hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar karena
Indonesia adalah pemilik sumber daya alam mineral tambang yang dikelola
Freepot.
Mengenai saham freeport, saham Freeport yang harus dialihkan dalam waktu
5 tahun pertama adalah sebesar 10 persen. Karena dalam kurun waktu lima tahun
setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan akan melakukan investasi
besar-besaran di Grasberg, pihak perusahaan pertambangan ini berharap bahwa
ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan, khusus bagi Freeport.
Freeport berhasil. pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 1994
tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman
Modal Asing yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). Peraturan
Pemerintah ini dikeluarkan pada tahun 1994, sedangkan KK V dengan Freeport
ditandatangani pada bulan Desember 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20
dikeluarkan. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut
memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang.
Menghadapi kondisi demikian, seharusnya pemerintah Indonesia bersikap
lebih percaya diri menggunakan posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan hasil
eksploitasi sumberdaya yang optimal. Indonesia pemilik kekayaan, ‘mereka’ yang
datang ke sini untuk mengais rezeki, bukan sebaliknya.
Belum lama ini Habibi mengusulkan program Sand Maker untuk freeport di
Indonesia. Menurut Jusuf Kala program Sand Maker banyak menguntungkan bagi
Indonesia Tetapi program ini belum bisa dilaksanakan karena KK 5 elum berakhir.
Program Sand Maker bisa dilaksanakan setelah KK 5 berakhir, dan membuat
kesepakatan baru yang didalamnya akan dimasukkan program Sand Maker ini.
Diharapka program ini dapat membuat keuntungan yang diperoleh Indonesia dari
Freeport lebih banyak.
Saat ini freeport sudah banyak merugikan Indonesia. Kebijakan
neoliberalisme yaitu dengan mengurangi campur tangan pemerintah diharapkan
dapat meningkatkan perekonomian suatu negara dengan cepat, tetapi yang terjadi
saat ini bertolakbelakang dari tujuan sebenarnya. Freeport sudah banyak
merugikan Indonesia. Seharusnya saat ini pemerintah bertindak tegas mengenai
freeport. Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya saat ini harus
berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas telah
melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia. Undang-Undang
tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan dapat
dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan ulah
Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit
keuangan terhadap Freeport.
Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu,
langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan
mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan Freeport harus diubah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara.
Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang beroperasi di
Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169
butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa
terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut
paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena
itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK Freeport. Pemerintah yang
tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.
2.3
Teori yang
Melandasi Kasus PT. Freeport di Indonesia
Kasus Freeport di Indonesia merupakan kasus yang ekonomi politik
neoliberalisme. Neoliberalisme adalah mengurangi campur tangan pemerintah dalam
ekonomi untuk kemudian digantikan oleh pasar, dan pasar dijadikan satu-satunya
cara atau sistem utntuk mengatur perekonomian dan sekaligus satu-satunya tolak
ukur untuk menilai keberhasilan semua kebijakan pemerintah. Dari kasus freeport
dapat dijelaskan bahwa freeport merupakan hasil dari keputusan pemerintah dalam
menyepakati kerjasama dengan perusahaan asing mengenai pengelolaan tambang di
Papua, perusahaan asing tersebut diberi wewenang untuk mengelola tambang di
Papua.
Dalam teori Neoliberalisme, peran dan campur tangan pemerintah dalam
perekonomian dikurangi. Menurut pakar-pakar Neoliberalisme menyatakan bahwa
semakin besarnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian menyebabkan
semakin lambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang bersangkutan.
Inilah yang meyebabkan negara berkembang didesak untuk mengurangi campur tangan
pemerintah dengan melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi. Indonesia
merupakan negara yang paling awal dan agresif dalam menerapkan ajaran
Neoliberalisme untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi yaitu sesudah
hancurnya masa keemasan minyak bumi dengan menjalis kesepakatan pemerintah
mengenai Freeport.
Hingga saat ini freeport semakin memperlihatkan kerugian bagi Indonesia
yang seharusnya menurut teori dengan berkurangnya campur tangan pemerintah
dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi tetapi freeport di Indonesia justru
banyak mendatangkan kerugian bagi masyarakat sekitar tambang maupun masyarakat yang
bekerja dan bagi negara. Indonesia sudah banyak kehilangan lahan tambang, hasil
tambang, dan sumber daya alam yang dihasilkan oleh freeport tetapi tidak
menghsilkan keuntungan. Kerugian masyarakat sekitar tambang yang diakibatkan
oleh freeport antara lain seperti lingkungan alam yang rusak, pencemaran,
limbah dan tailing, rusaknya sumber penghasilan mereka dan penyakit sosial
lainnya.
Neoliberalisme juga memperlihatkan semakin berkurangnya program-program
sosial. Mereka tidak hanya menganjurkan deregulasi dan dan debirokratisasi,
program-program sosial juga semakin berkurang dan sering menimbulkan
inefisiensi dan mendistorsi pasar. Terliha dalam kasus freeport, perusahaan
sudah tidak lagi kesejahteraan masyarakat sekitar tambang dan para pekerja
mereka. Mereka hanya mementingkan keuntungan mereka sendiri. Kejadian-kejadian
sekitar dua tahun lalu mengenai aksi penembakan terhadap karyawan freeport dan
unjuk rasa karyawan yang menuntut kesejahteraan salah dua kejadian yang
menunjukan berkurangnya sikap sosial dari PT. Freeport, hal ini mengakibatkan adanya
catatan buruk bagi penghormatan HAM Indonesia di mata internasional. Kerusakan
lingkungan, kemiskinan masyarakat lokal, perampokan hak ulayat, kekerasan, dan
pembunuhan yang berulang terjadi terhadap manusia Papua di sekitar Freeport
telah menjadi keprihatinan komunitas nasional, bahkan internasional.
Suatu hal yang patut disayangkan ialah Indonesia hingga saat ini belum
mampu merancang sistem sosial yang sesuai dengan ideologi keasilan sosial yang
tercantum dalam sila ke-5 Pancasila. Bahkan dapat dikatakan seluruh sistem
operasionalnya mengalami penyimpangan dari sila keadilan sosial dimana
seharusnya negara dapat menjamin keadilan seluruh masyarakat dan memperhatikan
sosial masyarakat. PT. Freeport hanya memberikan penanganan masalah sosial di
depannya dengan pamrih laba dari utang yang diberikan. Setelah mereka merasa
sudah puas dengan keuntungannya maka program sosial yang dijalankan lama
kelamaan menghilang.
Pada neoliberalisme citra tentang pemerintah yang kuat dan efektif tidak
lagi diukur dari kemampuannya dalam mengintimidasi, melainkan pada kredibilitas
dan kewibawaan pemerintah dalam membuat
sekaligus menegakkan hukum dan aturan yang berkeadilan, memberantas KKN,
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, menegakkan demokratisasi,
serta menciptakan iklim yang kondusif. Freeport telah mendapatkan keuntungan
yang melimpah dari sumberdaya mineral di Papua.
Pemerntah harus melakukan dalangkah tegas dalam menghadapi PT. Freeport
karena diduga perubahan Freeport menjadi perusahaan raksasa diperoleh dengan
berbagai penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari
kaidah-kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis dan negara yang terpuji dan
beradab.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya saat ini harus berani
mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas telah melanggar
hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia. Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan dapat dipergunakan
bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan ulah Freeport ini.
Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit keuangan terhadap
Freeport.
Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu,
langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan
mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan Freeport harus diubah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara.
Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang beroperasi di
Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169
butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa
terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut
paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena
itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK Freeport. Pemerintah yang
tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.
Dalam menjalankan kebijakan makro yang berpedoman pada teori seharusnya
harus mempertimbangkan dan mempelajarinya terlebih dahulu, apakah teori
tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan dan diinginkan ataukah tidak. Dengan
tindakan yang tepat maka hasilnya akan melancarkan perekonomian dan tidak
menjadi masalah bagi masyarakat maupun negara.
DAFTAR PUSTAKA
Deliarnov. 2005. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
http://dailyactivitiesnhacks.wordpress.com/2011/10/17/akar-masalah-kasus-freeport/
No comments:
Post a Comment