Wednesday, August 8, 2018

Paper Ekonomi Politik: Freeport di Indonesia


FREEPORT DI INDONESIA BUKTI HILANGNYA NURANI PEMERINTAH INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Politik



Oleh:
1.      Erna Ristiani                              (7101412228)
2.      Ragil Sudjarwo                          (7201412231)
3.      Nur Azizah                                 (7101412232)
4.      Widiyaningrum                          (7101412235)
5.      Muhammad Faris Priyoga          (7101412238)

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Di Indonesia Freeport sudah ada mulai sekitar 47 tahun yang lalu. Saat ini keberadaan freeport sudah menimbulkan masalah bagi masyarakat maupun negara. Bahkan kerugian-kerugian yang diakibakan freeport untuk  Indonesia sudah sangat terlihat. Pemerintah belum melakukan tindakan tegas untuk menangani kasus freeport. Masyarakat berharap tinakan pemerintah dalam menghadapi freeport dan memperhatikan kesejahteraan pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya freeport. Masalah freeport merupakan masalah yang besar bagi negara karena berhubungan dengan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dan keberlanjutan kekayaan alam Indonesia.
Pemerintah dalam menentukan kebijakan akan mempertimbangkan teori apa yang menguntungkan dan sesuai dengan keadaan dan harapan yang diinginkan, dan apakah dengan menerapkan teori ekonomi politik sebagai acuan dalam menentukan kebijakan dan tindakan pemerintah. Maka penulis membuat analisis berdasarkan teori-teori dan kasus-kasus ekonomi politik dengan judul “FREEPORT DI INDONESIA BUKTI HILANGNYA NURANI PEMERINTAH INDONESIA
1.2    Rumusan Masalah
1.        Apa yang melatar belakangi masalah Freeport di  Indonesia?
2.        Apakah Freeport sebagai bukti hilangnya nurani pemerintah?
3.        Teori apa yang melandasi kasus Freeport di Indonesia?
1.3    Tujuan
1.    Untuk menetahui latar belakang masalah freeport di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui bahwa freeport merupakan bukti hilangnya nurani pemerintah di Indonesia.
3.    Untuk mengetahui teori yang melandasi kasus Freeport di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Latar Belakang Masalah Freport di Indonesia
Jika diperhatikan, masalah Freeport ini disebabkan oleh 3 hal yang saling terkait yaitu kontrak karya (KK) yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi kapitalisme neoliberal.
Kontrak Karya I (KK I) maupun KK II isinya sangat merugikan Indonesia. KK I ditandatangani oleh Soeharto sebagai Ketua Presidum Kabinet pada tanggal 7 April 1967 dan berlaku untuk Kuasa Pertambangan (KP) selama 30 tahun. Freeport mendapatkan berbagai keistimewaan sebagai perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia tetapi tidak terdaftar di Indonesia dan tidak tunduk dengan hukum Indonesia, mendapatkan tax holiday setelah tiga tahun berproduksi dan tanpa royalti sampai tahun 1984 serta keistimewaan lainnya. Belum lagi selesai masa kontraknya, pada Desember 1991 dibuat KKI II yang memberi hak kepada PTFI selama 30 tahun sampai tahun 2021 dan bisa diperpanjang 2 kali 10 tahun atau sampai tahun 2041.
Keistimewaan luar biasa yang diberikan kepada Freeport ini, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tekanan Amerika. Tekanan asing dilakukan oleh pemerintah AS ketika itu karena “berjasa besar” membantu pemerintah Soeharto dalam penumpasan G30S/PKI. Utang budi inilah yang digunakan sebagai “senjata” Freeport dan pemerintah AS untuk menekan Indonesia sehingga menerima begitu saja permohonan KP yang sangat merugikan itu. Semua ini menjadi legal dengan kebijakan ekonomi Negara yang neo liberal yang disahkan dengan undang-undang neo liberal. Berdasarkan doktrin kapitalisme, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam kegiatan ekonomi dan harus diserahkan kepada swasta. Akibatnya, pengelolaan kekayaan alam termasuk barang tambang diserahkan kepada swasta terutama asing melalui kontrak karya (seperti pengelolaan tambang tembaga, emas dan perak di Papua Barat kepada PTFI) atau melalui Production Sharing Contact.
Akibat dari semua itu, sebagian besar kekayaan alam yang merupakan milik rakyat dikuasai dan dinikmati swasta terutama asing. Lebih ironis lagi, rakyat nyaris tidak mendapat apa-apa dari hasil kekayaan alam milik mereka itu. Rakyat – khususnya yang ada disekitar tambang – justru menderita banyak kerugian karena lingkungan alam yang rusak, pencemaran, limbah dan tailing, rusaknya sumber penghasilan mereka dan penyakit social lainnya.
2.2    Freeport Bukti Hilangnya Nurani Pemerintah
Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika.
Pada tanggal 5 April 1967, Kontrak Karya (KK) I antara pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT Freeport Indonesia Incorporated (Freeport) ditandatangani. Peristiwa ini menjadi penandatanganan KK Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang disahkan pada bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Lahan ekplorasi yang diserahkan pemerintah kepada Freeport mencakup areal seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada bulan Desember 1972, pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk kali pertamanya ke Jepang. Tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.
Adanya ketidakyakinan tentang klaim emas merupakan by product, karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Di samping itu, Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenai kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar karena telah ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.
Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.
Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang dimiliki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.
Rapuhnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah kembali terlihat dalam KK V Freeport. Meskipun dalam KK V posisi tawar pemerintah sedikit diuntungkan, hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar karena Indonesia adalah pemilik sumber daya alam mineral tambang yang dikelola Freepot.
Mengenai saham freeport, saham Freeport yang harus dialihkan dalam waktu 5 tahun pertama adalah sebesar 10 persen. Karena dalam kurun waktu lima tahun setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan akan melakukan investasi besar-besaran di Grasberg, pihak perusahaan pertambangan ini berharap bahwa ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan, khusus bagi Freeport. Freeport berhasil. pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan pada tahun 1994, sedangkan KK V dengan Freeport ditandatangani pada bulan Desember 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20 dikeluarkan. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang.
Menghadapi kondisi demikian, seharusnya pemerintah Indonesia bersikap lebih percaya diri menggunakan posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal. Indonesia pemilik kekayaan, ‘mereka’ yang datang ke sini untuk mengais rezeki, bukan sebaliknya.
Belum lama ini Habibi mengusulkan program Sand Maker untuk freeport di Indonesia. Menurut Jusuf Kala program Sand Maker banyak menguntungkan bagi Indonesia Tetapi program ini belum bisa dilaksanakan karena KK 5 elum berakhir. Program Sand Maker bisa dilaksanakan setelah KK 5 berakhir, dan membuat kesepakatan baru yang didalamnya akan dimasukkan program Sand Maker ini. Diharapka program ini dapat membuat keuntungan yang diperoleh Indonesia dari Freeport lebih banyak.
Saat ini freeport sudah banyak merugikan Indonesia. Kebijakan neoliberalisme yaitu dengan mengurangi campur tangan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan perekonomian suatu negara dengan cepat, tetapi yang terjadi saat ini bertolakbelakang dari tujuan sebenarnya. Freeport sudah banyak merugikan Indonesia. Seharusnya saat ini pemerintah bertindak tegas mengenai freeport. Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya saat ini harus berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas telah melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia. Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan dapat dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan ulah Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit keuangan terhadap Freeport.
Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu, langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK Freeport. Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.

2.3    Teori yang Melandasi Kasus PT. Freeport di Indonesia
Kasus Freeport di Indonesia merupakan kasus yang ekonomi politik neoliberalisme. Neoliberalisme adalah mengurangi campur tangan pemerintah dalam ekonomi untuk kemudian digantikan oleh pasar, dan pasar dijadikan satu-satunya cara atau sistem utntuk mengatur perekonomian dan sekaligus satu-satunya tolak ukur untuk menilai keberhasilan semua kebijakan pemerintah. Dari kasus freeport dapat dijelaskan bahwa freeport merupakan hasil dari keputusan pemerintah dalam menyepakati kerjasama dengan perusahaan asing mengenai pengelolaan tambang di Papua, perusahaan asing tersebut diberi wewenang untuk mengelola tambang di Papua.
Dalam teori Neoliberalisme, peran dan campur tangan pemerintah dalam perekonomian dikurangi. Menurut pakar-pakar Neoliberalisme menyatakan bahwa semakin besarnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian menyebabkan semakin lambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang bersangkutan. Inilah yang meyebabkan negara berkembang didesak untuk mengurangi campur tangan pemerintah dengan melaksanakan deregulasi dan debirokratisasi. Indonesia merupakan negara yang paling awal dan agresif dalam menerapkan ajaran Neoliberalisme untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi yaitu sesudah hancurnya masa keemasan minyak bumi dengan menjalis kesepakatan pemerintah mengenai Freeport.
Hingga saat ini freeport semakin memperlihatkan kerugian bagi Indonesia yang seharusnya menurut teori dengan berkurangnya campur tangan pemerintah dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi tetapi freeport di Indonesia justru banyak mendatangkan kerugian bagi masyarakat sekitar tambang maupun masyarakat yang bekerja dan bagi negara. Indonesia sudah banyak kehilangan lahan tambang, hasil tambang, dan sumber daya alam yang dihasilkan oleh freeport tetapi tidak menghsilkan keuntungan. Kerugian masyarakat sekitar tambang yang diakibatkan oleh freeport antara lain seperti lingkungan alam yang rusak, pencemaran, limbah dan tailing, rusaknya sumber penghasilan mereka dan penyakit sosial lainnya.
Neoliberalisme juga memperlihatkan semakin berkurangnya program-program sosial. Mereka tidak hanya menganjurkan deregulasi dan dan debirokratisasi, program-program sosial juga semakin berkurang dan sering menimbulkan inefisiensi dan mendistorsi pasar. Terliha dalam kasus freeport, perusahaan sudah tidak lagi kesejahteraan masyarakat sekitar tambang dan para pekerja mereka. Mereka hanya mementingkan keuntungan mereka sendiri. Kejadian-kejadian sekitar dua tahun lalu mengenai aksi penembakan terhadap karyawan freeport dan unjuk rasa karyawan yang menuntut kesejahteraan salah dua kejadian yang menunjukan berkurangnya sikap sosial dari PT. Freeport, hal ini mengakibatkan adanya catatan buruk bagi penghormatan HAM Indonesia di mata internasional. Kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat lokal, perampokan hak ulayat, kekerasan, dan pembunuhan yang berulang terjadi terhadap manusia Papua di sekitar Freeport telah menjadi keprihatinan komunitas nasional, bahkan internasional. 
Suatu hal yang patut disayangkan ialah Indonesia hingga saat ini belum mampu merancang sistem sosial yang sesuai dengan ideologi keasilan sosial yang tercantum dalam sila ke-5 Pancasila. Bahkan dapat dikatakan seluruh sistem operasionalnya mengalami penyimpangan dari sila keadilan sosial dimana seharusnya negara dapat menjamin keadilan seluruh masyarakat dan memperhatikan sosial masyarakat. PT. Freeport hanya memberikan penanganan masalah sosial di depannya dengan pamrih laba dari utang yang diberikan. Setelah mereka merasa sudah puas dengan keuntungannya maka program sosial yang dijalankan lama kelamaan menghilang.
Pada neoliberalisme citra tentang pemerintah yang kuat dan efektif tidak lagi diukur dari kemampuannya dalam mengintimidasi, melainkan pada kredibilitas dan kewibawaan  pemerintah dalam membuat sekaligus menegakkan hukum dan aturan yang berkeadilan, memberantas KKN, memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, menegakkan demokratisasi, serta menciptakan iklim yang kondusif. Freeport telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Papua.  Pemerntah harus melakukan dalangkah tegas dalam menghadapi PT. Freeport karena diduga perubahan Freeport menjadi perusahaan raksasa diperoleh dengan berbagai penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari kaidah-kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis dan negara yang terpuji dan beradab.

BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya saat ini harus berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas telah melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia. Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan dapat dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan ulah Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit keuangan terhadap Freeport.
Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu, langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK Freeport. Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.
Dalam menjalankan kebijakan makro yang berpedoman pada teori seharusnya harus mempertimbangkan dan mempelajarinya terlebih dahulu, apakah teori tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan dan diinginkan ataukah tidak. Dengan tindakan yang tepat maka hasilnya akan melancarkan perekonomian dan tidak menjadi masalah bagi masyarakat maupun negara.

DAFTAR PUSTAKA

Deliarnov. 2005. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
http://dailyactivitiesnhacks.wordpress.com/2011/10/17/akar-masalah-kasus-freeport/

No comments:

Post a Comment